Thursday, 29 January 2009


PROFIL PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN ACEH
Peluang dan Tantangan Pengembangan dalam Upaya Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Oleh: Rahmadhani, M.Bus

1. Pendahuluan
Pembangunan Aceh kembali “Aceh’s Redevelopment” pasca konflik dan bencana melalui Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh menjadi momentum strategis dalam upaya mendukung percepatan pembangunan Aceh dalam berbagai aspek kehidupan untuk menuju kehidupan masyarakat Aceh yang lebih baik dan bermartabat. Membangun Aceh kembali menjadi lebih baik merupakan bagian Visi Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Aceh Tahun 2007-2012 yaitu: “Terwujudnya perubahan yang fundamental pada segala sektor kehidupan masyarakat dan Pemerintahan Aceh, sehingga pada tahun 2012 Aceh akan tumbuh menjadi negeri makmur yang berkeadilan”.

Lahirnya UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai konsequensi logis kesepakatan damai telah menghasilkan perhatian besar Pemerintah untuk menyerahkan kewenangan kepada Provinsi Aceh dan kabupaten/kota untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan (kecuali urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah) melalui pengelolaan “Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Dana Otonomi Khusus” di Provinsi Aceh. Pemerintah Provinsi Aceh melalui pengalokasian dana tersebut diharapkan dapat melakukan percepatan pembangunan pada berbagai sektor, salah satunya pengembangan subsektor kepariwisataan di Provinsi Aceh.

Pengembangan industri pariwisata di dunia umumnya dan di Indonesia khususnya telah semakin berkembang begitu pesat. Perkembangan industri tersebut tidak hanya berdampak pada peningkatan penerimaan devisa negara, namun juga telah mampu memperluas kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat dalam rangka mengurangi permasalahan pengangguran. Mengingat salah satu prioritas pembangunan Provinsi Aceh adalah menciptakan pemberdayaan ekonomi masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan dan mengentaskan kemiskinan, maka Provinsi Aceh yang terletak strategis pada ujung barat pulau Sumatera melalui paradigma baru pembangunan Aceh memandang perlu untuk siap mendukung percepatan ekonomi Aceh melalui subsektor pariwisata, sekaligus diharapkan dapat menghasilkan kontribusi penerimaan devisa bagi pemerintah daerah, memperluas kesempatan berusaha dan sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

2. Permasalahan dan Tantangan Pengembangan Pariwisata Aceh
Provinsi Aceh memiliki potensi pariwisata yang sangat menarik yang didukung beragam kekayaan sumber daya alam dan seni budaya daerah. Letak yang sangat strategis dan berada pada kawasan Selat Malaka yang merupakan salah satu jalur pelayaran internasional sudah seharusnya menjadi peluang bagi Provinsi Aceh untuk mendukung pengembangan wisata unggulan internasional di kawasan paling barat Indonesia. Aceh memiliki sekitar 527 buah objek wisata yang telah terdata dan telah dikembangkan, namun masih memerlukan penataan dan pengembangan lebih lanjut. Objek wisata tersebut terdiri dari 288 objek wisata alam, 165 objek wisata budaya dan 74 objek wisata minat khusus yang tersebar di seluruh Provinsi Aceh. Semua objek wisata tersebut memiliki nilai jual dan daya tarik tersendiri bagi wisatawan dalam negeri dan luar negeri.

Akibat terjadinya berbagai permasalahan dan pengelolaan yang keliru (mismanagement) pada masa lalu, maka telah memberi dampak negatif pada upaya pencapaian keberhasilan pengembangan pariwisata Aceh masa kini. Konflik yang terjadi selama hampir 30 tahun, krisis ekonomi yang berkepanjangan, lemahnya kebijakan Pemerintah terhadap pemberdayaan dan pengembangan pariwisata Aceh sebagai sektor unggulan, masih tingginya ketergantungan penerimaan daerah pada sektor minyak dan gas (namun tanpa disadari kontribusi penerimaan sektor minyak dan gas semakin berkurang akibat cadangan yang semakin menurun), lemahnya kesadaran masyarakat untuk ikut memelihara aset-aset pariwisata daerah dan masih lemahnya keikutsertaan pihak swasta terhadap usaha-usaha pengembangan industri pariwisata, serta berakhir dengan bencana besar (gempa dan tsunami) pada akhir Desember 2004 menjadi permasalahan utama yang berperan menciptakan gambaran suram dan fenomena ketidakberhasilan industri pariwisata di Aceh. Indikasi kemunduran pariwisata Aceh dapat dirasakan penurunan jumlah wisatawan nusantara dan mancanegara yang berkunjung ke Aceh selama lima tahun terakhir (1999-2003). Terjadinya penurunan kunjungan wisatawan tersebut menunjukkan bahwa kondisi pariwisata Provinsi Aceh secara umum belum memberikan dampak positif dalam upaya menciptakan pemberdayaan ekonomi masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan dan mengentaskan kemiskinan, bila dibandingkan dengan daerah-daerah tujuan wisata unggulan lainnya di Indonesia, seperti Sumatera Utara, Bali, Jogya, Batam, dll.

Kondisi tersebut telah menimbulkan keprihatinan karena pada satu sisi Provinsi Aceh memiliki keragaman objek wisata yang menarik untuk dikunjungi. Namun, pada sisi lainnya masih banyak faktor-faktor penghambat, seperti ketersediaan sarana dan prasarana pendukung pariwisata yang masih perlu diperhatikan dan dibenahi dalam rangka menjadikan Provinsi Aceh sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) unggulan pasca konflik dan bencana alam.

Peran Pemerintah bekerjasama dengan Pemerintah Daerah sebagai regulator, akselerator dan fasilitator pembangunan di daerah sangat diperlukan dalam upaya membangun kesan “aman dan nyaman” bagi para wisatawan dan sekaligus mendukung pengembangan perekonomian masyarakat Aceh melalui pemasaran produk-produk pariwisata daerah di dalam negeri dan luar negeri melalui penyusunan kebijakan yang dapat menggairahkan pasar industri pariwisata. Kebijakan tersebut seharusnya diuraikan secara sistematis dan terpadu dengan melibatkan peranserta seluruh para pemangku kepentingan (stakeholder), seperti masyarakat, pelaku usaha pariwisata, akademisi, tokoh masyarakat, dll. sebagai pelaku dan penerima manfaat ekonomi di daerah.

Konflik Aceh dan bencana tsunami yang telah menghancurkan seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat seharusnya tidak hanya cukup dirasakan sebagai sebuah “malapetaka”, sehingga masyarakat Aceh larut dalam kesedihan, kehilangan dan keterpurukan. Sebaliknya, malapetaka yang telah terjadi sudah seharusnya diubah dari sebuah tragedi yang menyedihkan menjadi peluang-peluang dalam rangka mencapai kemajuan masa depan Aceh yang selama ini tertinggal jauh “that the tsunami disaster should be a chance to turn tragedy into opportunity for the Acehnese in order to live prosperously and peacefully with a dignity”.

Selama berlangsungnya Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh melalui keterlibatan hampir seluruh masyarakat dan lembaga-lembaga internasional telah menghasilkan berbagai peluang dalam bentuk kemajuan pembangunan pada berbagai sektor yang telah dicapai dan dibangun. Perlu diakui juga bahwa subsektor industri pariwisata Aceh juga telah mengalami paradigma kemajuan yang cukup signifikan, antara lain peningkatan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Aceh, jumlah restauran dan toko-toko yang menjual barang-barang sovenir, travel biro dan jumlah hotel dan tingkat hunian hotel yang terus mengalami peningkatan. Mulai berkembangnya subsektor pariwisata di Provinsi Aceh melalui peningkatan kunjungan wisatawan dalam negeri dan luar negeri secara langsung akibat sudah terbukanya Aceh bagi masyarakat dunia untuk berkunjung ke Aceh serta peran langsung para relawan atau pekerja sosial nasional maupun internasional yang membantu pembangunan Aceh kembali.

Peningkatan sarana dan prasarana pendukung pariwisata yang dilakukan oleh Pemerintah, munculnya berbagai LSM yang bergerak pada sektor pariwisata di Aceh, sekaligus promosi-promosi wisata Aceh ke luar negeri oleh para pekerja sosial (NGO) yang dilakukan secara sukarela juga menandakan perhatian yang semakin serius terhadap upaya-upaya pengembangan pariwisata Aceh. Sarana dan fasilitas pendukung pariwisata yang berkembang selama Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh terdiri dari 20 hotel berbintang, 25 Hotel dan homestay dengan total 1.910 kamar dengan kapasitas sekitar 3.820 orang dan 414 restoran dengan total meja 2.861 kapasitas sekitar 14.227 orang.

3. Isu Strategis Pengembangan Pariwisata Aceh
Proses Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh pasca gempa dan tsunami dan lahirnya Nota Kesepahaman Perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM tanggal 15 Agustus 2005 telah menjadi momen penting dan strategis dalam rangka mendukung percepatan Pembangunan Aceh Kembali (Aceh’s Redevelopment). Lahirnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai konsequensi lahirnya Nota Kesepahaman Perdamaian antara Pemerintah RI dan GAM menjadi era baru menuju kehidupan masyarakat Aceh yang lebih baik dan bermartabat sesuai dengan Visi Pembangunan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Aceh Tahun 2007-2012 yaitu “Terwujudnya perubahan yang fundamental pada segala sektor kehidupan masyarakat dan Pemerintahan Aceh, sehingga pada tahun 2012 Aceh akan tumbuh menjadi negeri makmur yang berkeadilan”.

Dalam Nota Kesepahaman tersebut disebutkan bahwa ”.... Aceh dapat melakukan perdagangan dan investasi secara internal dan internasional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memperhatikan norma, standar dan prosedur yang berlaku secara nasional...” Pernyataan tersebut mengandung makna yang sangat strategis serta mendukung upaya-upaya pengembangan industri pariwisata Aceh ke depan.

Isu yang berkembang selama ini menyatakan bahwa industri pariwisata Aceh akan sulit berkembang akibat kurang mendapat dukungan dan partisipasi dari masyarakat secara langsung. Namun sebaliknya, pernyataan di atas menguat tabir bahwa GAM yang merupakan bagian dari masyarakat Aceh telah menyatakan pandangan yang positif terhadap prospek pengembangan pariwasata Aceh ke depan sebagai upaya mendukung percepatan ekonomi Aceh.

Komitmen GAM untuk menjadikan pariwisata sebagai salah satu sasaran pembangunan Aceh mungkin didasari pada pengalaman, pandangan dan pengetahuan mereka di luar negeri. Beberapa negara Islam seperti Turki, Mesir, Uni Emirat Arab, Maladewa, Malaysia dan beberapa negara Islam lainnya telah mengembangkan pariwisata sebagai sektor andalan dan ternyata keberhasilan yang diperoleh sangat signifikan dan industri pariwisata mereka telah mampu menjadi salah satu penghasil devisa terbesar di negara-negara tersebut.

Konsequensi lahirnya UU No. 11 sudah seharusnya menjadi sebuah pencerahan dalam rangka membangun ekonomi Aceh secara terpadu yang didukung dengan sumber daya keuangan yang besar melalui pengelolaan Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Dana Otonomi Khusus di Provinsi Aceh. Namun demikian, Pemerintah Provinsi Aceh perlu melakukan reformasi arah dan strategi kebijakan pembangunan pariwisata daerah secara terpadu dengan anggaran yang tersedia, sehingga pembangunan Aceh dapat dilaksanakan dan dirasakan oleh seluruh mayarakat Aceh secara berkeadilan dan kemakmuran.

4. Kesimpulan
1. Pengembangan Pariwisata dan Kebudayaan Aceh dapat dilakukan sebagai sarana mendukung upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat, penciptaan lapangan pekerjaan dan pengentasan kemiskinan. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, maka perlu melibatkan peranserta masyarakat setempat dan para pemangku kepentingan lainnya. Pelibatan masyarakat tentunya memerlukan dukungan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan, pelatihan dan penguatan kelembagaan/kapasitas.

2. Pengembangan Pariwisata dan Kebudayaan Aceh harus dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi antar kabupaten/kota dan sektor terkait lainnya. Melalui kerjasama yang baik, promosi, peningkatan kualitas SDM, peningkatan penyediaan prasarana/sarana pendukung, penguatan kelembagaan dan mutu pelayanan akan lebih mudah dicapai.

3. Setiap pengembangan usaha pariwisata di Provinsi Aceh sebaiknya diawali dengan studi kelayakan dengan menggunakan indikator yang sesuai. Kepastian usaha pariwisata sangat penting untuk diperhatikan karena menyangkut dengan nilai dan jumlah investasi yang akan ditanamkan. Hal ini sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya “hope project” yang tidak berdasarkan realita pengembangan di lapangan.

4. Wisata Alam (ekowisata) dan Budaya (Tsunami) dianggap sesuai untuk dikembangkan di Provinsi Aceh karena:
§ Provinsi Aceh memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati dan ekowisata yang bertumpu pada sumberdaya alam sebagai atraksi.
§ Ekowisata menitikberatkan pada pelibatan masyarakat lokal yang mencerminkan dua prinsip utama: edukasi dan wisata.
§ Provinsi Aceh juga memiliki keanekaragaman budaya dan istiadat yang memiliki nilai jual dan menarik minat wisatawan.
§ Wisata tsunami akan menambah daya tarik wisata Aceh dan menjadi salah satu icon pariwisata spiritual, sekaligus promosi wisata sejarah dan wisata GERILYA yang akan menjadi bahan renungan dan pembelajaran bagi kaum muda mengenai dampak perang terhadap perkembangan peradaban manusia (Positive long-term impact of major wars and other catastrophic events on the creation of tourist attraction in Aceh).

5. Penggabungan Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata Aceh akan menjadi peluang dan kekuatan dalam rangka mendukung pengembangan pariwisata dan kebudayaan secara terpadu, sinergi dan berkelanjutan melalui One Stop Service (Management). Untuk mencapai tujuan tersebut, kapasitas, kuantitas dan kualitas SDM aparatur yang memiliki pemahaman dan perilaku yang berorientasi kepariwisataan sangat dibutuhkan. Seluruh karyawan Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata Aceh mampu membangun dan mengadopsi prinsip-prinsip atau falsafah Sapta Pesona: Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah Tamah dan Kenangan.

6. Pemberlakuan Syariat Islam di Provinsi Aceh tidak seharusnya dianggap sebagai penghambat pengembangan pariwisata Aceh. Sebaliknya, pemberlakuan Syariat Islam tersebut dapat memperkaya daya tarik wisata Aceh. Namun, diperlukan kemampuan dalam merancang bentuk pariwisata Aceh yang tepat sasaran dan sesuai dengan kondisi dan karakteristik daerah dan masyarakat.

7. Prinsip pengembangan pariwisata bersifat lintas sektor (multisector/multi-desciplinary) dan koordinatif, tidak dapat dilakukan secara parsial. Keterlibatan seluruh instansi teknis pemerintah sangat diperlukan dalam upaya mencapai visi dan misi pengembangan pariwisata Aceh, seperti Dinas Pendidikan (Pengembangan SDM), Dinas Kimpraswil (Pembangunan infrastruktur), Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Pengembangan wisata hutan/Green Aceh Program dan Agrowisata Saree), Dinas Syariat Islam (Pengembangan dan Promosi Wisata Islami), BAPPEDA (Penyusunan Perencanaan dan Anggaran Pariwisata), Universitas (Pengembangan SDM dan sosialisasi kepariwisataan), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (seluruh program dan kegiatan pariwisata dan kebudayaan pada masing-masing bidang harus bersifat fokus, sinergi dan tidak tumpang tindih antar bidang), Perbankan (membantu penyaluran bantuan kredit/microfinance kepada masyarakat/kelompok pelaku industri pariwisata serta membangun daya saing), dll.

No comments:

Post a Comment